Jumat, 15 Januari 2010

PUJIAN ATAS NABI MUHAMMAD SAW

Sungguh suatu pendapat yang tidak betul yang mengatakan bahwa siapa pun yang memuji Nabi Muhammad SAW dan mengangkatnya melebihi kebanyakan orang, menyanjungnya, dan menyifatinya dengan apa saja yang membedakannya dari yang lain, berarti ia telah melakukan pujian berlebihan (al-‘ithraa’), suatu sikap berlebihan yang tercela (al-ghuluww al-madzmuum) dan berarti ia telah melakukan bid’ah dalam agama serta bertentangan dengan Sunnah Sayyidina, Nabi Muhammad SAW. Mengapa salah pendapat tersebut? Sebab Nabi Muhammad SAW hanya melarang memujinya – secara berlebihan – sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani terhadap Nabi Isa AS, yang mengatakan bahwa “(Nabi Isa) itu putra Allah”. Maksudnya, orang yang memuji Nabi Muhammad SAW –secara berlebihan – dan menyifatinya dengan sifat-sifat yang diberikan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa, sama saja dengan mereka.

ADAPUN ORANG YANG MEMUJI RASULULLAH SAW DAN MENYIFATINYA DENGAN SIFAT-SIFAT KEMANUSIAAN – DENGAN TETAP MENGAKUINYA SEBAGAI ‘ABDULLAH, HAMBA ALLAH DAN UTUSAN-NYA – JUGA MENJAUHKANNYA DARI KEYAKINAN SESAT SEBAGAIMANA DILAKUKAN KAUM NASRANI ADALAH ORANG YANG MEMPUNYAI JIWA TAUHID YANG SEMPURNA.

Biarkanlah apa yang diyakini kaum Nasrani pada Nabinya
Tetapkanlah sesukamu pujian yang layak bagi Nabimu dan teguhkanlah
Karena keutamaan Rasulullah SAW itu tidak terbatas
Tak ada lisan yang mampu mengungkapkannya
Satu hal yang pasti diketahui, ia adalah manusia
Ia adalah makhluk Allah yang paling utama dari semuanya

Bukankah Allah SWT pun telah memuji Nabi Muhammad SAW melalui firman-Nya: “Dan sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad SAW) benar-benar memiliki akhlak yang agung.” (Al-Qolam, 68:4). Allah juga memerintahkan supaya umat manusia senantiasa beradab dan mengikuti tata sopan santun bersama Nabi, baik dalam berbicara maupun dalam bertanya jawab. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi.” (al-Hujurat, 49:2). Allah SWT juga melarang kita memperlakukan Nabi sebagaimana kita memperlakukan manusia biasa, dan Dia pun mencegah kita memanggilnya dengan cara sebagaimana yang berlaku di antara kita dengan ikhwan kita. Dengan tegas, Dia berfirman: “Janganlah kamu jadikan panggilan (terhadap) Rasul diantara kamu seperti sebagian kamu memanggil yang lain.” (An-Nur, 24:63). Allah SWT mencela orang-orang yang menyamakan Rasulullah dengan yang lain dalam rangka bergaul dan gaya hidup: “Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.” (Al-Hujurat, 49:4).

Rasulullah SAW pun biasa dipuji dan disanjung oleh para sahabatnya yang mulia. Beliau tidak melarang mereka, apalagi menuduhnya berbuat syirik. Bahkan, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Rasulullah, dengan tegas, memuji dirinya sendiri. Beliau bersabda,

Aku adalah manusia terbaik di antara ashhabul yamin, kelompok yang beruntung. Aku adalah manusia terbaik di antara orang-orang yang menang dan beruntung. Dan aku adalah putra Adam yang paling bertakwa dan paling mulia di hadapan Allah. Bukan sombong. (HR. Imam Thabrani dan Al-Baihaqi dalam Dalaa-il)

Malaikat Jibril AS pun memuji Baginda Nabi Muhammad SAW, ia berkata,

Aku membolak-balikkan bumi, timur dan baratnya, tetapi aku tidak menemukan seseorang yang lebih utama daripada Muhammad SAW dan aku pun tidak melihat keturunan yang lebih utama daripada keturunan (bani) Hasyim. (HR. Al-Baihaqi, Abu Nu’aim, At-Thabrani dari Siti Aisyah ra)

Abu Sa’id mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

Aku adalah pemimpin (sayyid) keturunan Adam pada hari kiamat; bukan sombong. (HR. Imam Turmudzi; ia menilai hadis ini hasan shahih)

Itulah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa memuji Rasulullah SAW bukan suatu bid’ah karena telah dicontohkan oleh Allah, Nabi Muhammad sendiri, juga oleh para sahabat-sahabat beliau. Dalil-dalil diatas pun sekaligus menunjukkan KITA TIDAK DILARANG MEMUJI RASULULLAH SAW, selama menyifatinya dengan sifat-sifat kemanusiaan – dengan tetap mengakuinya sebagai ‘abdullah, hamba Allah dan utusan-Nya – juga menjauhkannya dari keyakinan sesat sebagaimana dilakukan kaum Nasrani yang memuji Nabi Isa dengan mengatakan bahwa “Nabi Isa itu putra Allah”.

Dan ketahuilah! Setinggi apapun pujian kita kepada Nabi Agung Muhammad SAW sesungguhnya kita tetap tak dapat menempatkan beliau pada posisi yang tepat dikarenakan beliau adalah manusia yang martabat dan kemuliaannya di atas semua manusia. Meskipun kita umat beriman telah beroleh kehormatan menjadi pengikut Rasulullah SAW namun kita tidak dapat mengetahui setinggi apa hakikat kemuliaan dan martabat beliau SAW. Karenanya tidak ada itu yang disebut melakukan pujian berlebihan (al-‘ithraa’) atau pun melakukan suatu sikap berlebihan yang tercela (al-ghuluww al-madzmuum). Maka, pujilah Sayyidina Nabi Muhammad SAW setinggi mungkin, karena semua itu masih kurang.... Allaahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aali sayyidninaa Muhammad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar