Sabtu, 30 Januari 2010

ALLAH KHALIQ, NABI MUHAMMAD MAKHLUQ

Sungguh telah banyak orang yang salah faham dalam menilai sesuatu yang dimiliki bersama oleh kedua maqom (posisi) – yakni posisi Khaliq dan makhluq. Yang lantas mereka terburu-buru memvonis bahwa menisbahkan sifat-sifat khaliq kepada makhluq sama artinya dengan syirik. Khususnya yang dikaitkan dengan pribadi Rasulullah yang mereka maksud: membesar-besarkan berbagai keistimewaan Rasulullah dianggap oleh mereka sama dengan mensifati beliau dengan sifat-sifat uluhiyah (berhak disembah).
Padahal ini suatu kebodohan yang nyata. Lantaran Allah SWT hanya memberikan apa yang dikehendaki-Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya pula, tanpa suatu kewajiban atau keharusan yang mengikat, melainkan hanya pemuliaan terhadap siapa saja yang Dia kehendaki untuk Dia muliakan, atau Dia angkat posisinya yang Dia ingin nyatakan kelebihannya dibandingkan dengan manusia lain.
Jadi, dalam hal ini tidak ada perampasan hak-hak Allah, baik dari sudut rububiyah (pencipta dan pemilik alam), maupun uluhiyah (yang berhak disembah). Atau dengan kata lain, berbagai kelebihan dan keistimewaan yang dimiliki oleh para nabi itu, sama sekali tidak akan pernah mengikis rububiyah dan uluhiyah Allah SWT sebagai Pencipta Yang Maha Tinggi.
Dengan demikian, jika ada makhluk yang memiliki sedikit kesamaan dari salah satu sifat-Nya, maka sifat tersebut – sesuai dengan sifat nisbi manusia – pastilah sangat terbatas. Dan oleh sebab itu, juga dapat bermanfaat hanya dengan izin Allah dan dengan kemurahan serta kehendak-Nya.
Jadi, bukan karena makhluk itu sendiri. Lantaran semua makhluk, pada dasarnya lemah tak berdaya, serta tidak akan pernah memiliki daya dan upaya mendatangkan atau menolak, baik kemanfaatan maupun kemudaratan. Begitu pula manusia tidak akan pernah bisa menentukan kehidupan, kematian, dan kebangkitannya.
KEPADA BAGINDA NABI MUHAMMAD—ADA BANYAK HAL YANG MERUPAKAN HAK ALLAH SWT, NAMUN ALLAH LANTAS MEMBERIKANNYA KEPADA RASULULLAH SAW, DAN ATAU KEPADA PARA NABI YANG LAIN. DALAM HAL INI TIDAK BERARTI SIFAT-SIFAT ITU SEKALIGUS MENGANGKAT PARA NABI KHUSUSNYA NABI MUHAMMAD SAW PADA TINGKAT DERAJAT ULUHIYAH, ATAU MENJADIKANNYA SEKUTU ALLAH SWT.
Contohnya:
- SYAFA’AT, yang merupakan milik Allah SWT (Az-Zumar, 39:44) Namun demikian, terdapat hadis yang menyatakan bahwa syafaat juga dimiliki Rasulullah SAW dan para pemberi syafaat yang lain, yakni (artinya):
Aku diberi (memiliki) syafaat. (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, Darimi, dan Ahmad).
- ILMU GHAIB, yang merupakan sesuatu yang mutlak milik Allah (An-Naml, 27:65) Namun demikian dalam hal ini Allah juga mengajarkan ilmu ghaib kepada para nabi-Nya, sebagaimana ayat (artinya):
Allah mengetahui yang ghaib, maka dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan belakangnya. (Al-Jin, 72: 26-27)
- HIDAYAH, juga sesuatu yang khusus milik Allah (Al-Qashash, 28:56) Namun pada ayat yang lain, terdapat penjelasan bahwa dalam soal petunjuk para nabi juga memiliki andil, yakni:
Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Dengan demikian, hidayah yang dimaksud pada ayat pertama tidak sama dengan hidayah pada ayat kedua. Hal ini bisa dipahami oleh orang-orang berakal sehat dari kaum yang beriman, yang mengerti perbedaan posisi Khaliq dan makhluk. Lantaran jika tidak demikian, niscaya ayat itu akan berbunyi:
Sesungguhnya engkau menunjuki dengan petunjuk irsyad saja. Atau boleh jadi akan berbunyi: Engkau memberi petunjuk dengan petunjuk yang berbeda caranya dengan cara Kami.
Namun semua itu tidak terjadi, melainkan Allah menetapkan bagi beliau kemampuan memberi petunjuk, tanpa embel-embel dan tanpa syarat, karena kaum muslimin sudah dapat memahami makna lafadznya, dan mengerti perbedaan madlul-nya (makna yang ditunjuk oleh lafadz itu) dengan memperhatikan (ketidaksamaan) apa yang disandarkan kepada Allah dan apa yang disandarkan kepada rasul-Nya.
Yang senada dengan itu --- sebagai bahan perbandingan – dapat kita lihat dalam Al-Quran yakni pernyataan sifat Rasulullah yang rauf dan rahim oleh Allah dalam ayat (bil mu’miniina rauufr rahiim).
Maka dengan demikian kita pun maklum bahwa sifat ra’fah dan rahmah (kasih sayang dan cinta) yang dimiliki Rasulullah, memang hasil pemberian Allah SWT. Dan yang pasti, tidak sama dengan sifat ra’fah dan rahmah milik Allah SWT.
Namun demikian, ketika Allah SWT mensifati nabi-Nya dengan kedua sifat tersebut, tetap tanpa keteranga dan penjelasan yang rinci. Lantaran kaum muslimin yang membaca kitab suci Al-Quran sudah dianggap maklum akan perbedaan antara khaliq dan makhluk.

Jumat, 15 Januari 2010

PUJIAN ATAS NABI MUHAMMAD SAW

Sungguh suatu pendapat yang tidak betul yang mengatakan bahwa siapa pun yang memuji Nabi Muhammad SAW dan mengangkatnya melebihi kebanyakan orang, menyanjungnya, dan menyifatinya dengan apa saja yang membedakannya dari yang lain, berarti ia telah melakukan pujian berlebihan (al-‘ithraa’), suatu sikap berlebihan yang tercela (al-ghuluww al-madzmuum) dan berarti ia telah melakukan bid’ah dalam agama serta bertentangan dengan Sunnah Sayyidina, Nabi Muhammad SAW. Mengapa salah pendapat tersebut? Sebab Nabi Muhammad SAW hanya melarang memujinya – secara berlebihan – sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani terhadap Nabi Isa AS, yang mengatakan bahwa “(Nabi Isa) itu putra Allah”. Maksudnya, orang yang memuji Nabi Muhammad SAW –secara berlebihan – dan menyifatinya dengan sifat-sifat yang diberikan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa, sama saja dengan mereka.

ADAPUN ORANG YANG MEMUJI RASULULLAH SAW DAN MENYIFATINYA DENGAN SIFAT-SIFAT KEMANUSIAAN – DENGAN TETAP MENGAKUINYA SEBAGAI ‘ABDULLAH, HAMBA ALLAH DAN UTUSAN-NYA – JUGA MENJAUHKANNYA DARI KEYAKINAN SESAT SEBAGAIMANA DILAKUKAN KAUM NASRANI ADALAH ORANG YANG MEMPUNYAI JIWA TAUHID YANG SEMPURNA.

Biarkanlah apa yang diyakini kaum Nasrani pada Nabinya
Tetapkanlah sesukamu pujian yang layak bagi Nabimu dan teguhkanlah
Karena keutamaan Rasulullah SAW itu tidak terbatas
Tak ada lisan yang mampu mengungkapkannya
Satu hal yang pasti diketahui, ia adalah manusia
Ia adalah makhluk Allah yang paling utama dari semuanya

Bukankah Allah SWT pun telah memuji Nabi Muhammad SAW melalui firman-Nya: “Dan sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad SAW) benar-benar memiliki akhlak yang agung.” (Al-Qolam, 68:4). Allah juga memerintahkan supaya umat manusia senantiasa beradab dan mengikuti tata sopan santun bersama Nabi, baik dalam berbicara maupun dalam bertanya jawab. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi.” (al-Hujurat, 49:2). Allah SWT juga melarang kita memperlakukan Nabi sebagaimana kita memperlakukan manusia biasa, dan Dia pun mencegah kita memanggilnya dengan cara sebagaimana yang berlaku di antara kita dengan ikhwan kita. Dengan tegas, Dia berfirman: “Janganlah kamu jadikan panggilan (terhadap) Rasul diantara kamu seperti sebagian kamu memanggil yang lain.” (An-Nur, 24:63). Allah SWT mencela orang-orang yang menyamakan Rasulullah dengan yang lain dalam rangka bergaul dan gaya hidup: “Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.” (Al-Hujurat, 49:4).

Rasulullah SAW pun biasa dipuji dan disanjung oleh para sahabatnya yang mulia. Beliau tidak melarang mereka, apalagi menuduhnya berbuat syirik. Bahkan, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Rasulullah, dengan tegas, memuji dirinya sendiri. Beliau bersabda,

Aku adalah manusia terbaik di antara ashhabul yamin, kelompok yang beruntung. Aku adalah manusia terbaik di antara orang-orang yang menang dan beruntung. Dan aku adalah putra Adam yang paling bertakwa dan paling mulia di hadapan Allah. Bukan sombong. (HR. Imam Thabrani dan Al-Baihaqi dalam Dalaa-il)

Malaikat Jibril AS pun memuji Baginda Nabi Muhammad SAW, ia berkata,

Aku membolak-balikkan bumi, timur dan baratnya, tetapi aku tidak menemukan seseorang yang lebih utama daripada Muhammad SAW dan aku pun tidak melihat keturunan yang lebih utama daripada keturunan (bani) Hasyim. (HR. Al-Baihaqi, Abu Nu’aim, At-Thabrani dari Siti Aisyah ra)

Abu Sa’id mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

Aku adalah pemimpin (sayyid) keturunan Adam pada hari kiamat; bukan sombong. (HR. Imam Turmudzi; ia menilai hadis ini hasan shahih)

Itulah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa memuji Rasulullah SAW bukan suatu bid’ah karena telah dicontohkan oleh Allah, Nabi Muhammad sendiri, juga oleh para sahabat-sahabat beliau. Dalil-dalil diatas pun sekaligus menunjukkan KITA TIDAK DILARANG MEMUJI RASULULLAH SAW, selama menyifatinya dengan sifat-sifat kemanusiaan – dengan tetap mengakuinya sebagai ‘abdullah, hamba Allah dan utusan-Nya – juga menjauhkannya dari keyakinan sesat sebagaimana dilakukan kaum Nasrani yang memuji Nabi Isa dengan mengatakan bahwa “Nabi Isa itu putra Allah”.

Dan ketahuilah! Setinggi apapun pujian kita kepada Nabi Agung Muhammad SAW sesungguhnya kita tetap tak dapat menempatkan beliau pada posisi yang tepat dikarenakan beliau adalah manusia yang martabat dan kemuliaannya di atas semua manusia. Meskipun kita umat beriman telah beroleh kehormatan menjadi pengikut Rasulullah SAW namun kita tidak dapat mengetahui setinggi apa hakikat kemuliaan dan martabat beliau SAW. Karenanya tidak ada itu yang disebut melakukan pujian berlebihan (al-‘ithraa’) atau pun melakukan suatu sikap berlebihan yang tercela (al-ghuluww al-madzmuum). Maka, pujilah Sayyidina Nabi Muhammad SAW setinggi mungkin, karena semua itu masih kurang.... Allaahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aali sayyidninaa Muhammad.

Rabu, 13 Januari 2010

KEISTIMEWAAN SAYIDINA MUHAMMAD SAW

Allah SWT menciptakan junjungan kita sayidina Muhammad Rasulullah SAW sebagai manusia, tapi tidak sebagaimana manusia biasa (basyaran laa kal basyar), beliau adalah manusia yang martabat dan kemuliaannya di atas semua manusia. Meskipun kita umat beriman telah beroleh kehormatan menjadi pengikut Rasulullah SAW namun kita tidak dapat mengetahui setinggi apa hakikat kemuliaan dan martabatnya. Pengetahuan kita terbatas pada martabat dan kemuliaan yang ada pada sesama manusia biasa, tidak dapat mengetahui hakikat kemuliaan yang dilimpahkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW sebagai manusia di atas segala manusia. Kita ingin dan berusaha mengetahui dan memahami sejauh dan setinggi mana kemuliaan dan martabat Rasulullah SAW, namun kita terbentur pada keterbatasan kita yang jauh berada di bawah martabat beliau SAW.

Sebagian orang menyangka bahwa para nabi termasuk Nabi Muhammad SAW sama dengan manusia lain dalam berbagai hal, baik dalam keadaan – situasi dan kondisinya – maupun dalam sifat-sifatnya. Tentu saja pemahaman seperti ini merupakan suatu kesalahan besar dan kekeliruan yang nyata. Karena pandangan-pandangan keliru ini adalah milik kaum penentang para nabi. Seperti pandangan kaum Nabi Nuh as terhadapnya sebagaimana dihikayatkan dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman: “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, ‘Kami tidak melihat kamu kecuali sebagai seorang MANUSIA BIASA SPERTI KAMI’.” (Hud, 11:27). Lihat pula QS Al-Mukminun (23):47; Asy-Syu’ara (26):154; Asy-Syu’ara (26):185-186. Pandangan kaum musyrikin terhadap Nabi Muhammad SAW pun tidak kalah buruknya. Mereka hanya mengakuinya sebagai manusia biasa. Hal itu sebagaimana difirmankan Allah SWT: “Mereka berkata, ‘Mengapakah rasul ini memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar?”

Meskipun memang dalam beberapa hal sama seperti manusia lain – sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah SWT: Qul innamaa ana basyar mitslukum; Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku (Nabi/Rasul) ini hanyalah manusia (biasa) seperti kamu’ (Al-Kahfi, 18:110) – tetapi para nabi berbeda dari kebanyakan manusia biasa dalam berbagai sifat dan karakteristiknya. Dibawah ini kami sebutkan berbagai sifat dan keistimewaan mereka dibanding manusia biasa lainnya – sebagaimana diisyaratkan Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.




a. Para nabi AS adalah manusia pilihan, terlebih Nabi Muhammad SAW. Mereka dipilih dan dimuliakan oleh Allah SWT dengan dijadikan-Nya sebagai nabi/rasul. Mereka juga dianugerahi hikmah dan diberi kekuatan intelektualitas serta ketajaman berpikir.. Mereka dijadikan Allah untuk menjadi penengah di antara-Nya dan makhluk-Nya. Tugas mereka adalah menyampaikan risalah dari Allah kepada makhluk-Nya, dan memperingatkan mereka dari murka dan siksa-Nya. Mereka dibebani tugas menunjuki makhluk kepada apa yang membahagiakan mereka, baik di dunia maupun di akhirat.


b. Meskipun biasa makan, minum, dan berjalan-jalan di pasar, kadang-kadang sehat dan kadang-kadang sakit, menikah bahkan ditimpa sifat-sifat kemanusiaan seperti yang dialami manusia biasa pada umumnya – seperti lemah, tua, juga kematian – para nabi terlebih Baginda Nabi Muhammad SAW mempunyai kelebihan, keistimewaan, dan sifat-sifat agung. Sifat-sifat itu merupakan suatu kelaziman bahkan termasuk hal-hal primer yang mesti mereka miliki. Adapun sifat-sifat yang melekat pada diri mereka adalah sebagai berikut: jujur (shidq), menyampaikan amanah (tabligh), terpercaya (amanah), pandai (fathanah), terbebas dari aib yang sangat jelek, yang dapat membuat manusia lari darinya (as-salam minal ‘uyub almunfirat), terpelihara dari hal-hal yang dapat mengurangi kredibilitasnya sebagai nabi/rasul (al-‘ishmah). Sifat-sifat ini tidak dapat dimiliki oleh manusia biasa kecuali melalui proses perjuangan melawan nafs.


c. Adapun Nabi Muhammad SAW beliau memiliki sifat dan karakteristik khusus diantaranya:


- Rasulullah melihat apa yang ada di belakangnya, sebagaimana sabdanya: “Apakah kamu dapat melihat kiblatku disebelah sini? Demi Allah, tidak samar atasku rukukmu dan sujudmu. Sungguh aku melihat kamu sekalian dari belakang punggungku.” (HR. Syaikhani (Bukhari dan Muslim).


- Rasulullah SAW melihat apa yang tidak kita lihat dan mendengar apa yang tidak kita dengar, sebagaimana sabda beliau, “Sesungguhnya aku (dapat) melihat apa yang tidak kamu lihat, dan mendengar apa yang tidak kamu dengar.” (HR. Ahmad, Turmudzi, dan Ibnu Majah)


- Ketiak Nabi yang mulia putih warnanya. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik ra yang berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya dalam berdoa sehingga terlihatlah warna putih ketiaknya.”


- Nabi Muhammad SAW terpelihara dari kebiasaan menguap. Sebagaimana Imam Bukhari meriwayatkan dalam At-Tarikh dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf serta Ibnu Sa’d dari Yazid ibn Al-Asham yang mengatakan: “Nabi Muhammad SAW tidak pernah menguap sama sekali.


- Keringat Rasulullah SAW harum baunya. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas ra yang bercerita: “Rasulullah SAW pernah datang kepada kami. Beliau tidur siang di tempat kami. Ia tampak berkeringat. Lalu datanglah ibuku membawa sebuah botol. Ia berusaha menampung keringat Rasulullah. Rasulullah SAW terbangun. Ia bersabda: ‘Ya ummu Sulaim, apa yang engkau perbuat?’ Ia menjawab: ‘Keringat. Ia akan kami jadikan minyak wangi; pasti akan menjadi minyak wangi yang paling wangi’.”


- Rasulullah SAW tidak memiliki bayangan. Al-Hakim dan At-Turmudzi meriwayatkan dari Dzakwan: “Sesungguhnya Rasulullah SAW itu tidak ada bayangannya, baik dari sinar matahari maupun bulan.” Bagaimana tidak, beliau adalah cahaya di atas cahaya (nuron faaqo kulla nuur).


- Nabi Muhammad SAW tidak dihinggapi lalat. Al-Qadhi ‘Iyadh – dalam Asy-Syifa – dan Al-‘Azafi – dalam maulidnya – menyebutkan: “Di antara keistimewaan Nabi Muhammad SAW itu adalah beliau tidak dihinggapi lalat”. Ibn Sab’ menambahkan dalam Al-Khashaa-is, “Diantara keistimewaan Rasulullah SAW adalah kutu rambut tidak mampu menyakitinya.”


- Darah beliau adalah suci. Al-Bazzar, Abu Ya’la, At-Thabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abdullah bin Az-Zubair bahw ia pernah mendatangi Rasulullah SAW ketika ia sedang berbekam. Setelah selesai berbekam, beliau bersabda: “Hai Abdullah, pergi dan bawalah darah ini lalu tumpahkanlah di tempat yang tidak ada siapa-siapa.” Ternyata ia meminumnya. Setelah ia kembali (kepada Rasulullah SAW), Rasulullah SAW bersabda: “Hai Abdullah apa yang engkau perbuat?” Ia menjawab: Aku letakkan darah itu di suatu tempat yang menurutku pasti tidak diketahui orang.” Rasulullah SAW bersabda, “Atau mungkin kau meminumnya?” “Ya” Jawab Abdullah. Ia bersabda, “Kecelakaanlah bagi manusia dari (sebab) kamu. Dan kecelakaanlah bagi kamu dari (sebab) manusia. Mereka tidak melihat kekuatan yang ada padanya (Abdullah) dari (karena) darah itu.”


- Mata Rasulullah SAW tidur tapi hatinya tidak. Beliau bersabda, “Mataku tidur tetapi hatiku tidak tidur.” (HR Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik ra)


- Rasulullah SAW terpelihara dari mimpi berjimak. Beliau bersabda, “Tidak ada seorang nabi pun mimpi berjimak (ihtilam). Sesungguhnya ihtilam itu dari setan.” (HR Thabrani)


- Air seni Rasulullah SAW adalah suci. Diriwayatkan oleh Al-Hasan bin Sufyan, dalam musnadnya, juga oleh Abu Ya’la, al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Abu Nu’aim dari Ummu Aiman yang mengatakan: “Nabi SAW bangun malam, lalu mencari kendi pada sudut rumah. Beliau buang air kecil padanya. Aku pun bangun malam dalam keadaan sangat haus. Maka aku memimun air yang ada dalam kendi itu. Di pagi hari aku beritahukan hal itu kepada Nabi. Beliau tertawa seraya bersabda, “Kamu tidak akan merasa sakit perut setelah hari ini untuk selamanya.”


Dan banyak lagi keistimewaan Nabi SAW lainnya yang tidak dapat disebut secara keseluruhan. Berikut adalah ringkasan mengenai keistimewaan Nabi Muhammad SAW yang disusun oleh sebagian ulama dalam bentuk nazham:


Nabi kita diistimewakan dengan sepuluh sifat
Ia tidak pernah berihtilam sama sekali
Tak ada padanya bayangan
Bumi menelan apa yang keluar darinya
Begitu pula lalat enggan mendekat
Kedua matanya tertidur, hatinya tak mendengkur
Terlihat olehnya apa yang ada di belakang seperti ia memandang
nya dari depan
Tidak pernah menguap, sifat yang ketujuh
Diikuti sifat lain, ia terkhitan ketika lahir
Binatang mengenalinya ketika ia menaikinya
Mereka datang dengan cepat tak pernah mengelak
Posisi duduknya melebihi posisi duduk sahabatnya
Allah melimpah shalawat kepadanya, pagi dan sore hari.

Kunjungi: www.fauzirosid.blogspot.com

Jumat, 08 Januari 2010

NAWAFIL MENUTUPI CACAT-CACAT DALAM PELAKSANAAN FARAIDH

Al-Imam Al-'Allaamah Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad berkata:
Ketahuilah bahwa Allah SWT, dengan karunia dan rahmat-Nya telah menjadikan nawafil sebagai penutup cacat dan kekurangan yang terjadi dalam pelaksanaan faraidh (yakni segala yang difardhukan). Akan tetapi kekurangan suatu fardhu tidaklah dapat tertutupi kecuali dengan nafl (ibadah yang dianjurkan) yang sejenis dengannya. Misalnya salat fardhu dengan shalat nafl dan puasa fardhu dengan puasa nafl. Fardhu adalah pokok, sedangkan nafl adalah sebagai pelengkap. Orang yang melaksanakan faraidh dan menjauhi segala yang diharamkan (maharim), sementara ia tidak mengerjakan nawafil, lebih baik keadaannya daripada orang yang biasa mengerjakan nawafil sementara ia melalaikan beberapa dari faraidh. Oleh sebab itu, jangan sekali-kali meninggalkan sesuatu dari faraidh demi menyibukkan diri dengan sesuatu nawafil. Karena dengan begitu Anda telah berbuat dosa akibat meninggalkan yang fardhu sementara Allah tidak menerima yang nafl darimu.
Hal seperti itu pula adakalanya terjadi atas diri orang yang menyibukkan diri dengan menuntut sesuatu ilmu yang bagi dirinya sendiri merupakan fadhilah (yakni ilmu yang baik tetapi tidak wajib), sementara ia tidak menyibukkan diri dengan menuntut ilmu yang merupakan fardhu atas dirinya untuk lahir ataupun batinnya. demikian pula orang yang meninggalkan upaya mencari nafkah, kendati ia memiliki kemampuan, disebabkan menyibukkan diri dengan berbagai ibadah nawafil, sementara ia menjadikan keluarganya meminta-minta kepada manusia lain.
Dengan dua contoh yang kami sebutkan di atas, Anda dapat membuat perbandingan dengan contoh-contoh lain yang sama maknanya.

Selasa, 05 Januari 2010

MELAKSANAKAN FARDHU MENJAUHI HARAM

Al-Imam Al-'Allaamah Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad mengatakan:


Hendaknya Anda selalu mengerjakan segala yang difardhukan, menjauh dari yang diharamkan serta memperbanyak nawafil (yang dianjurkan kendati tidak diwajibkan). Bila Anda melakukan yang demikian itu secara ikhlas dan semata-mata demi memperoleh keridhaan Allah Yang Maha Pemurah, Anda akan meraih kedudukan amat dekat kepada-Nya dan diselubungi dengan pakaian mahabbah (kecintaan Ilahi) sedemikian sehingga dengannya segala gerak dan diam Anda hanya demi Allah dan dengan-Nya semata (lillahi wa billahi). Itulah pakaian wilayah (kekariban Ilahi), bahkan pakaian khilafah (perwakilan Ilahi). Kepada kedudukan dan keadaan seperti itulah Rasulullah SAW mengisyaratkan dalam Hadis Qudsi yang dirawikan dari Tuhannya:

Allah SWT telah berfirman: "Tiada sesuatu mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih Kusukai daripada pelaksanaan segala yang kufardhukan atas dirinya. Dan (setelah itu) manakala hamba-Ku terus menerus mendekati-Ku dengan mengerjakan nawafil, niscaya Aku Mencintainya. Maka bila Aku telah Mencintainya, jadilah Aku Pendengarannya yang dengan itu ia mendengar, Penglihatannya yang dengan itu ia melihat, Tangannya yang dengan itu ia memukul dan Kakinya yang dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kepada-Ku, niscaya 'kan Kuberi, bila ia berlindung kepada-Ku, niscaya 'kan Kulindungi,. dan tidaklah Aku merasa "bimbang" pada sesuatu seperti kebimbangan-Ku pada pewafatan seorang hamba-Ku yang mukmin yang merasa berat menerima kematian. Sementara Aku tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak disukainya, padahal kematian adalah suatu keniscayaan."

Lihatlah, semoga Allah merahmatimu, betapa besarnya rahasia-rahasia dan makrifat-makrifat yang dikandung oleh Hadis Qudsi ini. Renungilah pelik-pelik kehangatan dan kelembutan yang diisyaratkan di dalamnya, serta betapa tingginya sehingga apa saja yang disukainya menjadi kesukaan Allah dan apa saja yang dibencinya menjadi kebencian Allah pula. Semua ini tidak mungkin dicapainya kecuali dengan melaksanakan segala yang difardhukan oleh Allah atas dirinya serta memperbanyak nawafil demi meraih kedekatan kepada-Nya.

Nah, ikutlah berlomba jika saja Anda memiliki himmah untuk sampai ke tingkatan-tingkatan kesempurnaan ataupun dambaan untuk mencapai derajat-derajat para tokoh utama. Jalan telah terbuka dihadapanmu, cahaya kebenaran pun telah bersinar benderang untukmu.

Minggu, 03 Januari 2010

BERTANYA KEPADA ORANG YANG MENGERTI AL-QURAN DAN AS-SUNNAH

Al-'Allaamah Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad mengatakan:
Ketahuilah bahwa tidak semua orang mampu mengukur segala gerak-geriknya serta lahir batinnya dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Hal itu hanya khusus bagi para ulama rasikhun (yang mendalam ilmunya lagi kuat pijakannya). Maka bila Anda menjumpai kesulitan, kembalilah kepada orang-orang yang Anda diperintahkan untuk kembali kepadanya seperti dalam firman Allah SWT:
Maka bertanyalah kepada AHLUDZ DZIKRI jika kamu tidak mengetahui. (An-Nahl, 16:43)
(Ciri-ciri) ahludz dzikri adalah :
  1. Ulama yang memiliki ilmu tentang Allah, atas perkenan-Nya, dan juga
  2. Mengamalkan ilmu itu semata-mata demi mencari keridhaan-Nya;
  3. Ulama yang berzuhud dalam kehidupan dunianya, yakni hatinya tidak terpaut dengan dunia;
  4. Ulama yang tidak pernah dilalaikan oleh perdagangan apapun dari mengingat Allah;
  5. Uama yang berdakwah (menyeru) kepada Allah dengan hati yang sadar dan
  6. Ulama yang disingkapkan bagi mereka rahasia-rahasia-Nya

Namun pada masa sekarang di seluruh persada bumi ini sungguh amat sulit menjumpai walaupun hanya satu orang saja dari mereka. Sampai-sampai beberapa dari kalangan tokoh penting berani menyatakan bahwa ahludz dzikri itu kini sudah tidak ada. Akan tetapi yang benar adalah bahwa mereka itu pasti ada, namun Allah SWT telah menyelubungi mereka dengan kekuasaan-Nya dan menyembunyikan mereka dari pengetahuan manusia, disebabkan kelalaian orang-orang khusus dan berpalingnya orang-orang awam. Maka barangsiapa yang bersikap tulus dan sungguh-sungguh mencari mereka, insya Allah akan menjumpai, paling sedikit, seorang dari mereka. Sebab ketulusan adalah laksana pedang amat tajam yang bila ditetakkan atas sesuatu pasti memotongnya. Pada hakikatnya bumi ini tidaklah akan kosong dari seorang 'qaim lillaahi bihujjah (penegak hujjah Allah). Rasulullah SAW pernah bersabda:

Selalu akan ada sekelompok dari umatku yang tetap membela kebenaran (Agama), tidak teralangi oleh siapa pun yang menentang mereka sampai datangnya saat ketentuan Allah.

Mereka itulah bintang-bintang bumi, petugas-petugas pembawa amanat, wakil-wakil al-Musthafa (Nabi SAW), dan pewaris para nabi lainnya. Semoga ridha Allah atas mereka dan mereka pun ridha sepenuhnya akan Tuhan mereka. Merekalah Hizbullah (kelompok yang dekat dengan Allah) dan sesungguhnya Hizbullah adalah orang-orang yang berjaya.